Madrasah
Sunday, 26 Mar 2023
  • Selamat Datang di Website Resmi MAN 2 Banjarnegara | Kawasan Zona Integritas . Menuju Wilayah Bebas Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBK - WBBM)
30 August 2021

Poniman, “Warok” dari Desa Prigi

Monday, 30 August 2021 Kategori : Prestasi

Suasana sore hari itu begitu pas untuk duduk dan menikmati indahnya hari. Awan yang cerah begitu mendominasi langit sore. Terlihat seorang lelaki muda duduk di teras rumahnya sambil menikmati sejuknya angin. Saya menghampiri lelaki berkaos oblong yang sedang memainkan smartphonenya. Sore pak Pon!” Senyum manis tertutup masker merupakan sapaan yang tidak asing lagi pada masa ini menyambut salamku. Ya! Masa pandemi Covid-19 yang mulai melanda Indonesia pada awal Maret 2020. Saya duduk dan berbincang sambil menemani lelaki itu. Lelaki berbadan gempal, bertubuh tinggi dan berwibawa ini sangat ramah, meski terlihat menyeramkan, nyatanya dia adalah orang yang sangat baik, sebut saja Poniman. Poniman dilahirkan di Banjarnegara, 3 Mei 1982. Putra kedua dari bapak Saiman dan ibu Wakinem, menamatkan pendidikannya di SD Negeri Desa Prigi. Masih di tempat yang sama, terlihat bagian dalam rumahnya penuh dengan seni, beberapa pajangan berbentuk Kuda Lumping memperlihatkan bahwa ia adalah seorang yang sangat menyukai kesenian itu. Rumah dengan gaya khas tradisional itu menambah fakta bahwa ia adalah seorang penggiat kebudayaan.

Poniman mulai bercerita mengenai kehidupannya, bibirnya yang berkomat-kamit cepat menjadi gaya khas Poniman saat bercerita. Lelaki tamatan SD ini memang benar seorang pelaku kebudayaan, kesehariannya adalah menekuni kesenian Kuda Lumping. “Awale si, mung njajal tambah sue tambah seneng ( Awalnya si hanya coba-coba, lama-lama jadi makin suka )”. Poniman mulai menyukai kesenian ini berawal dari ajakan teman-temannya. Dia bergabung di salah satu grup kesenian Desa Prigi yaitu Cakra Buana. Poniman bermain Kuda Lumping bersama 8 temannya, “Nek aku ya perane dadi warok, kan aku medeni ( Kalau saya perannya sebagai Warok, kan saya menyeramkan )” tuturnya sambil menertawakan perkataannya itu. Ya memang! Tokoh warok yang merupakan raksasa berwatak menakutkan amat cocok diperankan Poniman yang berpostur badan tinggi, gempal dan berlaga menyeramkan ini.

 Laki-laki  ini masih tinggal bersama orang tua dan adiknya yang telah berkeluarga, sedangkan kakaknya ikut tinggal bersama istrinya untuk memperbaiki derajat kehidupan. Walaupun hidup dalam kesederhanaan, Poniman amat bersyukur karena masih bisa merawat orang tuanya yang sudah renta, ditengah kesederhanaan itu terbentuk suatu keharmonisan yang memang Poniman rasakan. Dia terlihat bingung menghadapi masa pandemi, Kuda lumping yang menjadi matapencahariannya kini telah hilang. Dia harus berusaha mencari pekerjaan lain agar dapat menghidupi keluarganya.

Sebelum pandemi, Poniman amat suka memainkan kesenian ini, hobi yang ia tekuni dapat memberikan penghasilan, walaupun tidak banyak memang. Motivasi yang menjadikan dia sebagai seorang pemain Kuda Lumping adalah minimnya pemuda yang mau melestarikan kebudayaan lokal. Globalisasi yang semakin menjadi-jadi membuat kesenian bangsa terlupakan dikalangan pemuda masa kini. Pada masa pandemi seperti sekarang, sedih tentu dirasakan Poniman karena kesenian Kuda Lumping tidak dapat lagi ditampilkan akibat adanya kebijakan pemerintah yang salah satunya adalah membatasi mobilitas masyarakat guna menekan penularan virus Covid – 19. Tertuang dalam pasal 13 Permenkes 9/2020, dimana isinya tentang  mengatur hal – hal praktis yang salah satunya adalah pembatasan kegiatan sosial dan budaya. Kegiatan kesenian tentu tak dapat dilakukan karena peraturan pemerintah tidak boleh dilanggar. Tentunya demi kebaikan kita semua, kita ingin pulih dari pandemi ini dan kesehatan adalah faktor utama. Muncul kerinduan dalam hati Poniman melihat masyarakat bahagia dengan adanya pertunjukan seni, matanya berkilau mengingat masa itu. Suara gending yang bergema membawakan lagu Manyar Sewu, suara sinden yang menyanyikan lagu campursari dan para penari yang dengan lincahnya melakukan tarian mereka, semakin menambah kerinduan Poniman untuk mempertunjukkan Kuda Lumping.

Poniman memang kehilangan matapencahariannya sebagai pemain kesenian, namun sekarang ia kembali memiliki pendapatan dengan bekerja sebagai tukang parkir disebuah komplek pertokoan. Poniman membiayai keluarganya dengan senang hati walaupun pendapatannya tidak seberapa. Penggiat budaya itu walaupun lelah dirasanya sepulang bekerja tetap menyalurkan hobinya. Diambilnya kuda Lumping itu yang tadinya tergantung di dinding. Tangan kanannya memegang sebuah kain lap, dengan halus dia membersihkan debu diantara untaian bambu yang berwujud kuda. “Men lebune ora numpuk mba (supaya debunya tidak menumpuk mba)” selorohnya dengan senyum yang tersungging. Kuda Lumping berwarna merah itu amat disukainya, biasa dia bawa dalam pertunjukan yang dia tampilkan. Dia mulai memainkan Kuda Lumping-nya dengan perasaan rindu, matanya tidak dapat membendung tangis, sebesar itu memang, kerinduan Poniman terhadap pertunjukan Kuda Lumping. Di usapnya tetes air mata yang ada di pipinya. Tak pernah disangka orang yang terlihat begitu menyeramkan ini mempunyai hati yang amat lembut.

Poniman datang ke tempat latihannya, tempat latihan yang begitu sederhana dengan empat tiang bambu sebagai penyangganya, dan atap yang hanya bermodalkan terpal serta tanah kering yang berpasir. Di tempat sederhana itu, Poniman dan teman-temannya sering berlatih Kuda Lumping sebelum diadakannya pertunjukan. Poniman mengingat dengan jelas, masyarakat yang berdiri berdesakan sambil bersorak-sorai sembari menikmati pertunjukan yang ditampilkannya, senyum lebar mereka terlihat begitu bahagia dan menjadi sebuah kenangan tersendiri yang Poniman rasakan. Anak kecil yang berlarian sembari menirukan gerakannya dan tawa yang mereka yang begitu khas, membuat Poniman merasakan rindu yang semakin berat. Dia berkeliling di tempat latihannya itu, sambil mengingat kenangan di setiap sudut area pertunjukan, rindu semakin dirasa saat Poniman melihat gending yang biasa mengiringi pertunjukannya. Sekarang, gending itu hanya tergeletak dan penuh debu. Poniman masih mengingat bagaimana dia melompat-lompat ditengah area pertunjukan bersama Kuda Lumping kesayangannya. Kenangan itu membuat rindunya semakin menggebu. Poniman memutuskan untuk meninggalkan tempat yang penuh kenangan itu. Dalam rumahnya, digantungnya kembali Kuda Lumping itu, “moga-moga, pandemi cepet rampung lan bisa ana tontonan jaranan maning (semoga, pandemi cepat berakhir dan bisa ada pertunjukan Kuda Lumping lagi)” ucapnya sambil menghela nafas.

Pandemi memang menimbulkan banyak dampak negatif, seperti banyaknya orang yang kehilangan mata pencahariannya, politik yang porak poranda, dan kasus kematian yang tinggi akibat Covid-19, namun sebenarnya Covid-19 tidak hanya menimbulkan dampak negatif, pandemi juga mampu membuat masyarakat lebih berpikir kreatif. Pandemi Covid-19 tidak memadamkan semangat Poniman untuk terus melestarikan kebudayaan lokal. Diambilnya sebuah smartphone dari sakunya, Poniman memulai merekam setiap gerakannya. Dia masih sempat meluangkan waktu ditengah rasa lelahnya, Poniman mulai membuat video, sebagai seorang penggiat seni dan budaya tentunya video Poniman mengajak generasi muda untuk melestarikan budaya. Dalam videonya, Poniman memperlihatkan bagaimana lincahnya dia melakukan setiap gerakan dalam pertunjukan kuda lumping. Dari kegiatan tersebut, Poniman merasa bahwa dia tidak kehilangan kebudayaan yang dilestarikannya.

1 Comment

Imam Heri Purnomo , Tuesday 9 Nov 2021

Mantap

Reply

Tinggalkan Komentar

 

March 2023
M T W T F S S
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Trafik Situs

  • Visitors today : 9
  • Page views today : 34
  • Total visitors : 31,260
  • Total page view: 71,352
  • Visitors today : 9
  • Page views today : 34
  • Total visitors : 31,260
  • Total page view: 71,352

Ikuti Kami

Madrasahnya Para Juara